Darah di Tanah Wallachia – Sebuah Kisah antara Sultan Muhammad Al-Fatih dan Vlad III Dracula

Kabut tebal menyelimuti lembah Wallachia. Udara dingin merayap, membawa bau anyir darah yang tertinggal di tanah. Di kejauhan, terdengar gemuruh langkah pasukan. Bendera dengan bulan sabit dan pedang berkibar di bawah langit mendung.
Di tengah pasukan Ottoman, Sultan Muhammad Al-Fatih duduk tegap di atas kudanya, matanya tajam menatap ke depan. Di hadapannya, terbentang pemandangan mengerikan—ratusan hingga ribuan mayat terpancang di tiang-tiang kayu tinggi. Darah menetes dari tubuh mereka yang tak bernyawa, wajah mereka membeku dalam ekspresi kesakitan.
Para prajurit Ottoman menahan napas. Beberapa menoleh ke belakang, menanti perintah sang Sultan. Tapi Muhammad Al-Fatih tetap diam, menelaah pemandangan itu tanpa gentar.
“Inilah caramu menyambutku, Vlad?” gumamnya lirih.
Dari balik benteng Târgoviște, Vlad III Dracula berdiri di puncak menara, menyaksikan pasukan Ottoman. Senyuman tipis tersungging di wajahnya yang pucat. Matanya memancarkan kegilaan—bukan sekadar kebencian terhadap Utsmaniyah, tetapi juga kepuasan melihat ketakutan di mata musuh-musuhnya.
“Sultan yang Agung,” Vlad berkata pelan, seolah berbicara sendiri. “Mari kita lihat seberapa besar keberanianmu.”
Musuh Lama, Perang Baru
Tahun 1462. Sultan Muhammad Al-Fatih baru saja menaklukkan Konstantinopel dan kini mengarahkan pasukannya ke Wallachia, sebuah tanah kecil yang dipimpin oleh seorang penguasa bengis—Vlad III Dracula.
Dulu, ketika masih remaja, Vlad dan adiknya, Radu, dibawa ke istana Ottoman sebagai sandera politik. Radu menerima takdirnya, tumbuh setia kepada Sultan, sementara Vlad menyimpan dendam yang dalam. Ia kembali ke tanah kelahirannya, bersekutu dengan musuh-musuh Ottoman, dan memberontak dengan kejam.
Muhammad Al-Fatih mengirim utusan untuk mengingatkan Vlad agar tunduk pada Utsmaniyah. Tapi yang diterima sang Sultan hanyalah kepala utusan yang dipancung dan tubuh mereka yang disula di perbatasan.
Sultan menghela napas panjang. Ia tahu, tak ada lagi jalan damai.
“Kita hadapi iblis ini dengan pedang.”
Serangan Malam
Saat bulan purnama menggantung di langit, Vlad merencanakan serangan. Dengan pasukan kecilnya, ia menyusup ke perkemahan Ottoman. Dalam kegelapan, mereka menyelinap ke tenda-tenda, membunuh para penjaga dengan kejam.
Vlad sendiri menargetkan tenda terbesar, tempat Sultan Muhammad Al-Fatih diyakini beristirahat. Dengan pisau terhunus, ia menerobos masuk, tetapi yang ditemuinya hanyalah seorang prajurit yang menyamar sebagai Sultan.
Teriakan perang menggema. Pasukan Ottoman segera bangkit, melawan balik. Vlad mundur dengan cepat, tapi perbuatannya telah memicu kemarahan besar.
Pertempuran Terakhir
Muhammad Al-Fatih akhirnya mengepung benteng Vlad. Hari demi hari berlalu, hingga akhirnya, kekuatan Wallachia melemah.
Vlad mencoba melarikan diri ke hutan, tetapi ia dikhianati oleh rakyatnya sendiri. Dalam pertempuran terakhirnya, tubuhnya penuh luka, darah mengalir dari pelipisnya.
Ketika akhirnya ia tumbang, kepalanya dipenggal dan dikirim ke Istanbul. Sultan Muhammad Al-Fatih menerima kepala musuhnya itu dengan tatapan dingin.
“Akhir dari seorang penghisap darah.”
Epilog: Nama yang Abadi
Kematian Vlad III Dracula tidak menghapus namanya dari sejarah. Kisah kekejamannya menyebar ke seluruh Eropa, menakuti siapa pun yang mendengarnya.
Namun, Sultan Muhammad Al-Fatih tetap dikenang sebagai penakluk yang lebih besar. Bukan hanya karena pedangnya, tetapi karena kebijaksanaannya.
Dan di tanah Wallachia, mitos tentang Dracula lahir… bukan sebagai pahlawan, tetapi sebagai monster yang selamanya menjadi bayang-bayang sejarah.