Ketika Data Kemiskinan BPS dan Bank Dunia Tak Sejalan

Sebuah jurang besar menganga dalam laporan kemiskinan Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis data resmi yang mencatat tingkat kemiskinan nasional per Maret 2025 sebesar 8,57% atau sekitar 23,2 juta jiwa. Namun, laporan terbaru Bank Dunia menyuguhkan realitas yang jauh berbeda: 60,3% penduduk Indonesia masih tergolong miskin atau rentan miskin jika mengacu pada standar global.
Selisih lebih dari 50 persen ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Siapa yang harus dipercaya, dan apa makna “kemiskinan” yang sebenarnya?
Dua Ukuran, Dua Realitas
Perbedaan angka ini bukan tanpa alasan. BPS menetapkan garis kemiskinan berdasarkan kebutuhan minimum hidup, termasuk 2.100 kalori per hari dan pengeluaran dasar lain. Garis kemiskinan nasional saat ini berkisar di Rp600.000 per bulan per orang. Artinya, seseorang dianggap tidak miskin jika pengeluarannya sedikit saja di atas angka itu.
Sebaliknya, Bank Dunia memakai standar internasional: US$3,65 per hari untuk negara berpendapatan menengah bawah seperti Indonesia. Jika dikonversikan, batas itu setara dengan sekitar Rp1,800.000 per bulan per orang—tiga kali lipat lebih tinggi dari standar BPS.
“Mayoritas warga Indonesia masih hidup dalam kondisi ekonomi rapuh. Mereka mungkin tidak tergolong ‘miskin’ menurut BPS, tapi hidup mereka jauh dari sejahtera,” ujar analis kebijakan publik, Rudi Hartono.
Angka Bukan Sekadar Statistik
Realita di lapangan menguatkan temuan Bank Dunia. Banyak keluarga di daerah perkotaan dan pedesaan hanya mampu memenuhi kebutuhan harian tanpa tabungan atau jaminan kesehatan. “Kadang makan tiga kali, tapi lauknya tempe terus. Sekali anak sakit, bisa kelabakan,” kata Rina (34), ibu rumah tangga di kawasan Tangerang.
Bank Dunia menegaskan bahwa 60,3% warga Indonesia masih tergolong vulnerable—mudah jatuh miskin jika terjadi krisis ekonomi, bencana, atau sakit berat di keluarga. Ini termasuk mereka yang bekerja informal, buruh harian, dan pelaku UMKM kecil.
Respons Pemerintah: “Konteks Berbeda”
Pemerintah menyambut kritik ini dengan hati-hati. Dalam konferensi persnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional menyebut bahwa perbedaan definisi perlu dilihat dalam konteks masing-masing. “Angka BPS digunakan untuk kebijakan nasional. Bank Dunia melihat dari perspektif global. Keduanya valid untuk tujuannya masing-masing.”
Namun, pengamat menilai pendekatan ini bisa menyesatkan publik. “Kita seperti sedang memainkan angka, bukan menyelesaikan masalah. Jika patokannya terlalu rendah, maka keberhasilan penurunan kemiskinan bisa menjadi ilusi,” kata Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS).
Kemiskinan yang Tak Terlihat
Meski secara statistik jumlah orang miskin berkurang, wajah kemiskinan baru justru bermunculan—mereka yang bekerja keras namun tetap tak mampu menabung, menyekolahkan anak ke jenjang tinggi, atau membeli rumah.
Ketimpangan persepsi antara BPS dan Bank Dunia mencerminkan satu hal: angka bisa dikendalikan, tapi penderitaan tidak bisa disembunyikan.