Misteri Naga dalam Islam: Antara Mitos, Simbol, dan Tanda Kekuasaan Tuhan

Naga, makhluk mitologis berwujud reptil raksasa bersayap atau tidak bersayap, telah lama mewarnai kisah-kisah legenda di berbagai peradaban. Namun, bagaimana posisi naga dalam pandangan Islam? Apakah makhluk ini benar-benar ada dalam ajaran Islam, atau sekadar simbolisasi dari kekuatan dan ketakutan?
Dalam Al-Qur’an, kata “naga” secara eksplisit tidak disebutkan. Namun, salah satu kisah yang sering dikaitkan dengan keberadaan naga muncul dalam kisah Nabi Musa AS, ketika tongkat beliau berubah menjadi ular besar yang “menakutkan” (Surah Al-A’raf: 107, Surah Taha: 20). Beberapa penafsir menyebutkan bahwa ular tersebut berukuran sangat besar, hingga menyerupai seekor naga.
Simbol Kekuasaan Tuhan
Ulama tafsir seperti Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa perubahan tongkat menjadi ular besar adalah bentuk mukjizat untuk menunjukkan kekuasaan Allah SWT atas segala sesuatu. Bagi sebagian mufassir, ukuran dan wujud ular yang luar biasa besar itu lebih dari sekadar hewan biasa — bisa jadi sebuah representasi makhluk luar biasa, yang dalam budaya lain disamakan dengan naga.
Namun, penting untuk dicatat bahwa dalam Islam, fokus kisah tersebut bukan pada makhluknya, melainkan pada keajaiban mukjizat dan pesan kenabian yang disampaikan kepada Fir’aun. Naga dalam konteks ini hanyalah bentuk visual dari kekuasaan Tuhan, bukan makhluk yang memiliki eksistensi otonom seperti jin atau malaikat.
Perspektif Hadis dan Budaya
Di dalam literatur hadis, tidak ditemukan referensi langsung mengenai naga. Namun dalam khazanah Islam yang berkembang di wilayah Nusantara, Persia, dan Asia Tengah, mitologi naga kadang muncul dalam bentuk seni dan sastra. Dalam hal ini, naga bukanlah makhluk dalam aqidah, tetapi bagian dari budaya lokal yang diislamkan, sebagaimana wayang atau simbol-simbol mitologis lainnya.
Misalnya, dalam seni ukir masjid kuno di Jawa atau Kalimantan, simbol kepala naga kadang menghiasi atap atau pintu masuk. Hal ini bukan bagian dari akidah, tetapi ekspresi artistik yang disesuaikan dengan nilai-nilai lokal. Para ulama pun menegaskan, selama simbol-simbol itu tidak dipuja atau diyakini memiliki kekuatan gaib, maka tidak bertentangan dengan prinsip tauhid.
Kesimpulan: Antara Imajinasi dan Ketauhidan
Naga dalam Islam bukanlah makhluk nyata seperti malaikat atau jin yang memiliki peran spiritual dan eksistensi menurut teks suci. Ia lebih merupakan simbol — baik dari keajaiban ilahi, kekuatan, atau bahkan ketakutan manusia. Dalam bingkai Islam, semua makhluk, nyata atau simbolik, hanyalah cerminan dari kebesaran dan keesaan Allah SWT.
Masyarakat muslim diingatkan untuk tidak terjebak pada mitos yang mengarah kepada tahayul, tetapi menjadikan kisah-kisah luar biasa dalam Al-Qur’an sebagai penguat iman, bukan sebagai bahan sensasi atau spekulasi gaib.